BIKIN JEMBATAN KOMUNIKASI
Kalau pada hakikatnya ortu dan anak bisa jalan bareng, lantas kenapa mesti sering-sering pecah 'perang dingin' ?
Ortu dan anak pada dasarnya punya kesamaan prinsip, cuma jalannya yang kadang-kadang berbeda. Memang sih, konflik itu nggak melulu mesti dianggap sebagai benih bagi lahirnya ' perang dingin' ortu-anak. Bagi kehidupan manusia, itulah yang disebut dengan bumbu kehidupan. Selama ortu dan anak mampu mengelola konflik itu dengan baik, bumbu kehidupan itu akan makin menyedapkan hubungan mereka. Tapi sebagai manusia dengan pribadi masing-masing berbeda. Ortu dan anak kerap terjebak ke dalam daerah konflik yang potensial menimbulkan 'perang dingin'. Ini yang perli diwaspadai.
Menjaga konflik itu agar tidak menjelma menjadi perang dingin adalah kewajiban kedua belah pihak. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa ortu-lah pihak pertama yang dituding oleh berbagai kalangan sebagai biang keladi lahirnya remaja-remaja bermasalah. Lalu siapa yang membela ortu kalau kita juga ikut mengkambinghitamkan beliau-beliau? Tidak ada, kecuali diri ortu itu sendiri. Padahal, seperti halnya anak, ortu juga manusia biasa yang perlu in put dari orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita nggak lagi melulu menuntut ortu agar tampil perfect bak malaikat, sementara di sisi lain kita pasif alias nggak berbuat apa-apa. Akan sangat bijak dan terasa bermanfaat jika kita mulai mengubah potensi bentrok menjadi dialog. Mulailah untuk calm down. Orang bijak bilang, konflik itu seperti air keruh. Jangan mengaduknya, karena sebentar lagi ia menjadi jernih.
Jadi, ketimbang mengaduk-aduk masalah sehingga bertambah keruh, di samping juga menguras tenaga dan pikiran, akan sangat bermanfaat jika kita mengubahnya menjadi jembatan komunikasi, misalnya meladeni 'serangan' ortu dengan diskusi yang menarik. Tentu saja, sebagaimana lazimnya diskusi, kita harus menjaganya agar kita maupun ortu tidak terjebak ke dalam debat. Serangan ortu bisa kita 'tangkis' dengan cara membikin jembatan komunikasi, seperti:
Kalau pada hakikatnya ortu dan anak bisa jalan bareng, lantas kenapa mesti sering-sering pecah 'perang dingin' ?
Ortu dan anak pada dasarnya punya kesamaan prinsip, cuma jalannya yang kadang-kadang berbeda. Memang sih, konflik itu nggak melulu mesti dianggap sebagai benih bagi lahirnya ' perang dingin' ortu-anak. Bagi kehidupan manusia, itulah yang disebut dengan bumbu kehidupan. Selama ortu dan anak mampu mengelola konflik itu dengan baik, bumbu kehidupan itu akan makin menyedapkan hubungan mereka. Tapi sebagai manusia dengan pribadi masing-masing berbeda. Ortu dan anak kerap terjebak ke dalam daerah konflik yang potensial menimbulkan 'perang dingin'. Ini yang perli diwaspadai.
Menjaga konflik itu agar tidak menjelma menjadi perang dingin adalah kewajiban kedua belah pihak. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa ortu-lah pihak pertama yang dituding oleh berbagai kalangan sebagai biang keladi lahirnya remaja-remaja bermasalah. Lalu siapa yang membela ortu kalau kita juga ikut mengkambinghitamkan beliau-beliau? Tidak ada, kecuali diri ortu itu sendiri. Padahal, seperti halnya anak, ortu juga manusia biasa yang perlu in put dari orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita nggak lagi melulu menuntut ortu agar tampil perfect bak malaikat, sementara di sisi lain kita pasif alias nggak berbuat apa-apa. Akan sangat bijak dan terasa bermanfaat jika kita mulai mengubah potensi bentrok menjadi dialog. Mulailah untuk calm down. Orang bijak bilang, konflik itu seperti air keruh. Jangan mengaduknya, karena sebentar lagi ia menjadi jernih.
Jadi, ketimbang mengaduk-aduk masalah sehingga bertambah keruh, di samping juga menguras tenaga dan pikiran, akan sangat bermanfaat jika kita mengubahnya menjadi jembatan komunikasi, misalnya meladeni 'serangan' ortu dengan diskusi yang menarik. Tentu saja, sebagaimana lazimnya diskusi, kita harus menjaganya agar kita maupun ortu tidak terjebak ke dalam debat. Serangan ortu bisa kita 'tangkis' dengan cara membikin jembatan komunikasi, seperti:
- Tangkis konflik dengan teknik air menetes. Yakinlah bahwa air yang menetes secara terus-menerus akan membuat batu menjadi berlubang. Demikian juga sikap keras ortu. Jika meladeninya dengan sikap serupa, yang terjadi adalah perbenturan keras yang bakal minta korban, dan korban itu tak lain adalah kita sendiri.
- Tangkis 'otoriterisme' ortu. Prinsip otoriterisme ortu sesungguhnya muncul akibat setiap ketergantungan kita masih sangat tinggi kepada beliau. Kalau kita bisa memegang pekerjaan-pekerjaan yang dapat mengurangi beban ortu, kenapa cuma berpangku tangan saja?
- Tangkis pembatasan gerak dengan menunjukkan kemampuan membawa diri. Asumsi ortu dalam membatasi gerak anak adalah logika " jika-maka". Misalnya, jika kamu lemah maka kamu akan dikerjai orang. Dengan menunjukkan kemampuan diri sedikit demi sedikit ortu mulai membuka "gembok" pembatasan gerak itu.
- Tangkis kuper ortu dengan memberinya akses berwawasan. Tidak semua ortu dalam membuat peraturan berdasarkan pengetahuan. Ada semata-mata karena rasa khawatir yang berlebihan. Inilah saatnya kita memberi ortu akses untuk memperluas wawasannya. Misalnya dengan menghadiahi beliau sebuah buku tentang teknik menjadi ortu yang efektif atau memberinya tiket seminar tentang komunikasi ortu dan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar